Indonesia sebagai negara demokrasi telah memasuki masa-masa perhelatan kontestasi politik. Perhelatan tersebut dikemas dalam tajuk pemilu serentak yang tersegmentasi dari tingkat nasional hingga regional.
Diumumkannya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih beberapa waktu lalu oleh Lembaga KPU- RI (Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia) menandakan bahwa konsolidasi demokrasi tingkat Nasional tahun 2024 berhasil dilaksanakan(Keputusan KPU, 2024), tinggal menyisakan beberapa penyelenggaraan pemilu ditataran regional yakni Pemerintah Provinsi dan Kabupaten atau Kota atau biasa disebut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Sebagai lokomotif demokrasi, esensi dari terselenggaranya pemilu bertujuan untuk memperkuat pilar demokratis sebagai upaya dalam menggapai nawacita kebangsaan. Diperlukan fondasi yang kokoh untuk memastikan bahwa cita-cita bangsa tercapai, sebagaimana pelaksanaan pemilu yang seharusnya tidak terbelenggu dengan paradigma prosedural daripada mendahulukan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (Vox populi, vox dei).
Maka orientasi dari keberhasilan pemilu nasional beberapa waktu lalu semestinya dapat dimaknai sebagai indikasi positif bahwa marwah demokrasi sebagai instumen bangsa telah bergerak ke-arah yang tepat.
Literasi politik merupakan amunisi penting bagi mahasiswa dalam mengarungi keberhasilan pemilu, secara istilah literasi politik merupakan suatu pemahaman dan pengetahuan terhadap proses dan isu politik yang kemudian memungkinkan seseorang terstimulus secara aktif dan efektif untuk terlibat didalamnya.
Namun terdapat temuan yang menunjukan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda senyatanya memiliki kemampuan literasi politik yang cenderung lemah (Ridha & Riwanda, 2020). Mereka juga kurang tertarik dalam memberikan partisipasi politiknya dikarenakan rendahnya pengetahuan pemilu dan demokrasi, rendahnya minat terhadap figur dan minimnya informasi dan sosialisasi yang didapatkan (Pitria dkk, 2024).
sebagaimana mengutip perkataan sastrawan Jerman bernama Berthold Brecht "Buta terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik” (Argenti,2023).
Sehingga apabila menilik fakta dan akibat dari kondisi di atas dapat diasumsikan bahwa minimnya bekal literasi politik mahasiswa saat ini dapat membuat langkah mereka semakin berat dalam menghadapi anomali demokrasi kedepan.
Patut menjadi perhatian khusus apabila persoalan-persoalan pemilu akan selalu menghantui demokrasi kita. Jika berkaca pada fenomena dan temuan, seyogyanya peran insan akademis sebagai role model berinisiatif untuk memantik kepekaan, khususnya sesama mahasiswa sebagai lingkungan terdekat dengan mengupayakan revitalisasi pemikiran dan gerakan pembaharuan terkait ancaman dan tantangan pemilu kedepan.
Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat kemelut politik dan pemilu kedepan akan semakin dinamis dan sulit diprediksi beriringan dengan hadirnya variasi dan adopsi teknologi. Maka langkah revitalisasi dasar tersebut adalah dengan penguatan literasi politik.
Dengan literasi politik mahasiswa akan memiliki kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi politiknya, menemukan dan mengevaluasi kualitas informasi politik yang diperoleh, menyimpan dan menemukan kembali informasi politik, kemudian menggunakan informasi politik secara ‘etis’ hingga pada tahap mengkomunikasikan sebuah pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah politik.
Sehingga untuk menghadapi pemilu ada suatu kehendak dimana mahasiswa dapat menyatakan sikap dalam membuat keputusan-keputusan politik tidak hanya berbekal konspirasi, imajinasi dan angan-angan ‘sumbu pendek’. Sebagaimana fenomena akhir- akhir ini tidak sedikit generasi muda telah mempertaruhkan reputasinya sebagai pelopor perubahan senyatanya terbelenggu dalam hegemoni kekuasaan dengan terlibat dalam praktik penyelewengan pemilu.
Maka dengan berbekal literasi politik, setidaknya ada harapan mahasiswa mampu mempertimbangkan proses dan konsekuensi logis didalam setiap kehendak politiknya bagaimanapun situasinya.
Sebagai lokomotif demokrasi, esensi dari terselenggaranya pemilu bertujuan untuk memperkuat pilar demokratis sebagai upaya dalam menggapai nawacita kebangsaan. Diperlukan fondasi yang kokoh untuk memastikan bahwa cita-cita bangsa tercapai, sebagaimana pelaksanaan pemilu yang seharusnya tidak terbelenggu dengan paradigma prosedural daripada mendahulukan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (Vox populi, vox dei).
Maka orientasi dari keberhasilan pemilu nasional beberapa waktu lalu semestinya dapat dimaknai sebagai indikasi positif bahwa marwah demokrasi sebagai instumen bangsa telah bergerak ke-arah yang tepat.
Parsialitas Semu dan Bumbu-Bumbu Pemilu
Terdapat sebuah stereotipe yang menyatakan tidak serta merta keberhasilan pemilu selalu diperoleh dengan proses yang fair. Maka asumsi demikian terbilang relevan apabila mengacu pada proses pemilu yang seringkali menuai kontroversi menarik.
Terdapat sebuah stereotipe yang menyatakan tidak serta merta keberhasilan pemilu selalu diperoleh dengan proses yang fair. Maka asumsi demikian terbilang relevan apabila mengacu pada proses pemilu yang seringkali menuai kontroversi menarik.
Sebagaimana isu politik identitas yang terjadi pada Pemilu Nasional pada tahun 2019 mengakibatkan tidak terkendalinya polarisasi pada ruang-ruang digital (Ardipandanto, 2020). Sedangkan pemilu 2024 politik identitas masih memainkan peran yang signifikan dalam menentukan dinamika demokrasi (Firmansyah dkk,2024).
Situasi serupa terjadi dalam pemilu mancanegara yakni peristiwa Cambridge Analytica Scandal beberapa tahun lalu sukses mengantarkan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat dengan strategi memanipulasi informasi (hoax) untuk merekayasa sentimen dan psikologis dari kelompok pemilih rentan (Kanakia dkk., 2019) dan persoalan-persoalan lainnya.
Belajar dari beberapa peristiwa tersebut maka dapat dipastikan penyelenggaraan pemilu masih banyak menyimpan misteri yang harus dipahami khususnya bagi generasi muda dan mahasiswa yang akan dihadapkan dengan berbagai tantangan pemilu masa depan. Sebagaimana tantangan tersebut salah satunya ancaman elaborasi manusia bersama teknologi yang diprediksi mampu mengendalikan konstelasi dan hasil akhir pemilu.
Maka selain dituntut untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi politik, mahasiswa juga harusnya giat membekali diri dengan kemampuan penunjang yakni literasi politik untuk mempertajam referensi sebelum mengambil keputusan dan sikap politiknya dalam pemilu.
Situasi serupa terjadi dalam pemilu mancanegara yakni peristiwa Cambridge Analytica Scandal beberapa tahun lalu sukses mengantarkan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat dengan strategi memanipulasi informasi (hoax) untuk merekayasa sentimen dan psikologis dari kelompok pemilih rentan (Kanakia dkk., 2019) dan persoalan-persoalan lainnya.
Belajar dari beberapa peristiwa tersebut maka dapat dipastikan penyelenggaraan pemilu masih banyak menyimpan misteri yang harus dipahami khususnya bagi generasi muda dan mahasiswa yang akan dihadapkan dengan berbagai tantangan pemilu masa depan. Sebagaimana tantangan tersebut salah satunya ancaman elaborasi manusia bersama teknologi yang diprediksi mampu mengendalikan konstelasi dan hasil akhir pemilu.
Maka selain dituntut untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi politik, mahasiswa juga harusnya giat membekali diri dengan kemampuan penunjang yakni literasi politik untuk mempertajam referensi sebelum mengambil keputusan dan sikap politiknya dalam pemilu.
Kesadaran Politik Mahasiswa: Diambang Garis Merah
Namun terdapat temuan yang menunjukan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda senyatanya memiliki kemampuan literasi politik yang cenderung lemah (Ridha & Riwanda, 2020). Mereka juga kurang tertarik dalam memberikan partisipasi politiknya dikarenakan rendahnya pengetahuan pemilu dan demokrasi, rendahnya minat terhadap figur dan minimnya informasi dan sosialisasi yang didapatkan (Pitria dkk, 2024).
sebagaimana mengutip perkataan sastrawan Jerman bernama Berthold Brecht "Buta terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik” (Argenti,2023).
Sehingga apabila menilik fakta dan akibat dari kondisi di atas dapat diasumsikan bahwa minimnya bekal literasi politik mahasiswa saat ini dapat membuat langkah mereka semakin berat dalam menghadapi anomali demokrasi kedepan.
Penguatan Literasi Politik
Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat kemelut politik dan pemilu kedepan akan semakin dinamis dan sulit diprediksi beriringan dengan hadirnya variasi dan adopsi teknologi. Maka langkah revitalisasi dasar tersebut adalah dengan penguatan literasi politik.
Dengan literasi politik mahasiswa akan memiliki kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi politiknya, menemukan dan mengevaluasi kualitas informasi politik yang diperoleh, menyimpan dan menemukan kembali informasi politik, kemudian menggunakan informasi politik secara ‘etis’ hingga pada tahap mengkomunikasikan sebuah pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah politik.
Sehingga untuk menghadapi pemilu ada suatu kehendak dimana mahasiswa dapat menyatakan sikap dalam membuat keputusan-keputusan politik tidak hanya berbekal konspirasi, imajinasi dan angan-angan ‘sumbu pendek’. Sebagaimana fenomena akhir- akhir ini tidak sedikit generasi muda telah mempertaruhkan reputasinya sebagai pelopor perubahan senyatanya terbelenggu dalam hegemoni kekuasaan dengan terlibat dalam praktik penyelewengan pemilu.
Maka dengan berbekal literasi politik, setidaknya ada harapan mahasiswa mampu mempertimbangkan proses dan konsekuensi logis didalam setiap kehendak politiknya bagaimanapun situasinya.
Penulis: Danang Bagus Mahendra
Posting Komentar