Pragmatisme vs Idealisme: Dampak Pergeseran Peran Mahasiswa sebagai Pengontrol Sosial

Mahasiswa telah lama dianggap sebagai kelompok intelektual yang memiliki peran penting dalam masyarakat, terutama dalam menjalankan fungsi sebagai pengontrol sosial. Sejak era pergerakan nasional di berbagai negara, mahasiswa sering kali menjadi penggerak utama dalam menentang pemerintahan yang otoriter, memperjuangkan keadilan, dan menuntut perubahan sosial. 

Contoh klasik dari peran ini dapat dilihat dalam revolusi mahasiswa di Prancis pada tahun 1968, gerakan mahasiswa di Indonesia yang menjatuhkan rezim Orde Lama pada 1966 dan Orde Baru pada 1998, serta berbagai gerakan protes mahasiswa di Amerika Serikat yang menentang Perang Vietnam pada 1960-an. 

Peran ini menegaskan bahwa mahasiswa, dengan idealismenya yang masih segar, sering kali menjadi suara kritis yang mampu mempengaruhi kebijakan publik dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Fungsi sosial kontrol mahasiswa ini lahir dari idealisme mereka yang cenderung menolak status quo dan berani menantang ketidakadilan. Sebagai generasi muda yang belum terlalu terikat oleh kepentingan politik atau ekonomi, mahasiswa memiliki kebebasan relatif untuk memperjuangkan nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia. 

Dalam sejarah, gerakan mahasiswa sering kali menjadi ujung tombak perubahan politik yang signifikan, baik itu dalam menentang penjajahan, menggulingkan rezim otoriter, atau menuntut reformasi sistem sosial yang lebih adil. Peran ini telah menjadikan mahasiswa sebagai salah satu kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam mengarahkan jalannya pemerintahan dan kebijakan publik di berbagai negara.

Namun, peran mahasiswa sebagai pengontrol sosial ini dapat terganggu ketika pragmatisme mulai mendominasi cara berpikir mereka. Pragmatisme, yang menekankan pada hasil praktis dan efisiensi, sering kali bertentangan dengan idealisme yang mendasari fungsi sosial kontrol mahasiswa. 

Ketika mahasiswa menjadi lebih pragmatis, fokus mereka cenderung beralih dari memperjuangkan kepentingan umum ke mengejar tujuan pribadi, seperti mendapatkan pekerjaan yang stabil, menyelesaikan studi dengan cepat, dan mencapai kestabilan ekonomi.

Pergeseran ini dapat mengurangi partisipasi mahasiswa dalam kegiatan sosial politik, seperti demonstrasi, diskusi kritis, atau advokasi kebijakan, karena mereka lebih memilih jalur yang dianggap lebih aman dan menguntungkan secara pribadi.

Akibatnya, fungsi sosial kontrol mahasiswa sebagai pengawas kebijakan pemerintah dan pembela hak-hak masyarakat bisa melemah atau bahkan hilang sama sekali. Mahasiswa yang pragmatis cenderung lebih pasif dan kurang kritis terhadap kebijakan publik, sehingga memberikan ruang bagi pemerintah untuk bertindak tanpa pengawasan yang memadai dari kelompok intelektual muda ini. 

Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan kebijakan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terdeteksi atau tidak mendapatkan perlawanan yang cukup kuat dari kalangan akademisi. Tanpa adanya tekanan dari mahasiswa, yang biasanya berperan sebagai kelompok independen yang tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau ekonomi, pemerintah dapat lebih leluasa menjalankan kebijakan-kebijakan yang mungkin merugikan masyarakat.

Lebih jauh lagi, pragmatisme yang berlebihan dapat mengikis solidaritas antar mahasiswa dan memecah gerakan kolektif mereka. Ketika setiap individu lebih fokus pada kepentingan pribadi, sulit untuk membangun gerakan sosial yang kuat dan terorganisir. Gerakan mahasiswa yang dulu solid dalam memperjuangkan perubahan sosial dapat terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki visi bersama. 

Hal ini membuat gerakan sosial mahasiswa menjadi kurang efektif dalam melakukan advokasi atau menekan pemerintah. Tanpa kekuatan kolektif yang terorganisir, mahasiswa kehilangan daya tawar politik mereka dan peran mereka sebagai pengontrol sosial melemah.

Penting untuk diingat bahwa dalam sejarah, idealisme mahasiswa telah menjadi motor penggerak berbagai perubahan besar. Idealisme memberikan kekuatan moral dan keberanian bagi mahasiswa untuk berdiri melawan ketidakadilan, bahkan ketika itu berarti menghadapi risiko pribadi. Tanpa idealisme, mahasiswa bisa saja kehilangan tujuan besar yang mengarahkan mereka untuk terlibat dalam isu-isu sosial dan politik yang lebih luas. 

Jika pragmatisme terlalu mendominasi, ada risiko bahwa mahasiswa akan menjadi generasi yang apatis, yang lebih peduli pada kesuksesan pribadi daripada memperjuangkan perubahan sosial yang lebih luas. Ini tidak hanya akan melemahkan fungsi sosial kontrol mereka, tetapi juga bisa berakibat pada stagnasi dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis.


Penulis: Akmad Misbakhul Khoir



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama