Kondisi ini mulai terjadi pada Revisi Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang mulai dibahas oleh Badan Legislasi DPR pada 27 Maret 2024, menimbulkan kekhawatiran yang signifikan di kalangan pengamat media dan praktisi jurnalistik.
Banyak yang berpendapat bahwa arah revisi ini cenderung mengancam kebebasan pers di Indonesia. Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah pasal 50B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Hal ini mengisyaratkan adanya upaya untuk membatasi akses publik terhadap informasi yang mendalam dan berpotensi mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Pasal 50B Ayat 2 Huruf C Menjadi Ancaman terhadap Jurnalisme Investigatif
Larangan terhadap penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi pada pasal 50B ayat 2 huruf c sangat problematik. Jurnalisme investigatif memainkan peran penting dalam mengungkap korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan berbagai bentuk pelanggaran hukum lainnya. Pembatasan ini tidak hanya menghambat kebebasan pers tetapi juga menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan komprehensif.
Informasi tersebut esensial untuk membangun masyarakat yang lebih sadar dan kritis. Sebelumnya, para aktivis jurnalistik dan media telah menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers dalam KUHP yang baru.
Dewan Pers mengidentifikasi setidaknya 11 pasal dalam KUHP yang berpotensi mengekang kebebasan pers, termasuk pasal-pasal yang mengatur penyiaran dan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal ini dapat mengarah pada kriminalisasi aktivitas jurnalistik yang sah dan penting bagi demokrasi.
Potensi Konflik Kepentingan dan Tumpang Tindih Wewenang
Pasal 8A huruf q ayat 2 dalam revisi UU Penyiaran menyebutkan bahwa penyelesaian terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dapat dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ini bertentangan dengan UU No. 44 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian jurnalistik seharusnya dilakukan oleh Dewan Pers. Pengaturan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan tumpang tindih wewenang antara Dewan Pers dan KPI, yang dapat memperumit proses penyelesaian sengketa jurnalistik dan menurunkan standar independensi dan profesionalisme dalam dunia penyiaran.
Perubahan Masa Jabatan dan Wewenang KPI
Revisi UU Penyiaran juga mengubah masa jabatan anggota KPI dari tiga tahun menjadi empat tahun, serta mengembalikan kewenangan KPI untuk memberikan rekomendasi hasil penilaian isi siaran lembaga penyiaran kepada pemerintah dalam proses pemberian izin baru dan perpanjangan perizinan.
Perubahan ini dapat memperpanjang masa pengaruh dan kontrol KPI terhadap dunia penyiaran, yang harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Perlunya Perlindungan Terhadap Kebebasan Pers
Revisi UU Penyiaran ini harus dipandang dengan kritis, terutama dalam hal pasal-pasal yang berpotensi membatasi kebebasan pers dan mengurangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang objektif dan mendalam. Oleh karena itu, langkah jurnalis di seluruh Indonesia yang menuntut pembatalan pasal-pasal bermasalah dalam revisi UU Penyiaran adalah tindakan yang patut didukung.
Selain itu, partisipasi aktif Dewan Pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro-demokrasi dalam pembahasan revisi ini sangat penting untuk memastikan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan. Hanya dengan demikian, dunia penyiaran di Indonesia dapat berkembang secara sehat dan demokratis, menjaga kepentingan publik, serta mendukung pembangunan masyarakat yang lebih adil dan terbuka.
Penulis : MN Huda
Posting Komentar