Keberpihakan Kang Moeslim, Politik dan Teologi Islam Transformatif (1)

Moeslim Abdurrahman lahir di Lamongan pada 8 Agustus 1948 - 6 Juli 2012. Ia mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Lamongan. Melanjutkan pendidikannya kembali ke Pesantren Raudlatul Ilmiyah di Kertosono. Ia kemudian menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STIAI). Kampus tersebut kini berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Setelah dari UMS, ia menekuni studinya ke Amerika Serikat, studi magister dan doktor antropologi di University of Illinois Urbana. 

Manapaki gerakan kemasyarakatan Moeslim Abdurrahman atau kang Moeslim panggilan akrabnya adalah aktivis Muhammadiyah, Ia aktif di (Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan) PP Muhammadiyah. Dilansir dari muhammadiyahgoodnews.id (21/07/2023)

Dilansir dari kompas.com (06/07/2012), Perjalanan karir politiknya kang Moeslem pernah menjabat Kepala Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Agama. Ia juga pernah di DPP Partai Amanat Nasional, Selanjutnya setelah wafatnya gusdur ia pernah juga sempat menjabat ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa.

Untuk mengembangkan pemikiran dan langkah Intelektualnya ia membuat karya tulisnya yang dikenal dalam salah satu buku berjudul "Islam Tranformatif" yang menjadi banyak pembicaraan dan rujukan. Dalam karya ini menjadi paradigma juga pandangaan menyegarkan pembaca di tengah pencarian religiusitas yang langsung menyentuh peran agama untuk kepentingan sosial. Menurutnya "Bagi saya, esensi risalah Islam yang paling radikal yakni tatkala Nabi Muhammad dulu meminta supaya ada hak dan fungsi sosial dari kekayaan yang dimiliki oleh setiap orang. Itu bererti Rasulullah sangat berkomitmen pada redistribusi sosial. Kalau sekarang harus dihidupkan kembali cita-cita Islam itu, haruslah yang sesuai dengan kondisi tujuan yang dialami".

Ketika menapaki problematika paradigma karya tulisnya ia juga bergerak pada dakwah komunitas yang lebih dekat lagi praksis sosialnya ia mendirikan Al-Maun Institute. Saat Maarif Institute tahun 2003 yang didirikan mantan ketua umum PP Muhammadiyah KH Ahmad Syafi'i Ma'arif, kang Moeslim menjadi direktur Intitute Kebudayaan dan Kemanusiaan. 

Cendekiawan Muslim Indonesia ini pun menjadi tokoh Muhammadiyah yang dikenal dekat dengan NU. Upaya kedekatan ini menjadi salah satu atsmosfir segar untuk organisasi Islam di Indonesia. Menjadi penting berdirinya organisasi kemasyarakatan hanya untuk kepentingan sosial, keadilan dan kesejahteraan. Karena, mewarnai kehidupan yang harmonis dimulai antar muslim itu sendiri.

Dari profil singkat di atas selanjutnya Kang Moeslim menyadarkan kita pada tranformasi kesadaran sosial di dalam ruang-ruang masyarakat sangat penting bahkan tentang kepentingan politik. Ketika kembali pada slogan “tiada pemisahan antara agama dan negara” muncul sebagai respons terhadap kondisi sejarah dan bukan pada tuntutan Islam sebagai suatu keyakinan. Karena adanya negara itu juga sebagai proses serta peran agama di dalamnya.

Salah satu krisis pemikiran politik umat Islam pada zaman modern bahkan jauh daripada itu perkembangan post modern hari ini. Perkembangan yang terjadi adalah percepatan nilai yang telah meruntuhkan kontruksi kesadaran nilai kemanusiaan. Menjadi nyata adalah daripada dampak kemudahan-kemudahan kebutuhan hidup manusia menjadi hal yang menjelma seperti candu yang menghasut tanpa kenal waktu tentang keinginan manusia dalam memenuhi hasrat dan nafsu.

Maka, menjadi dialektika umum tentang bagaimana merumuskan hubungan agama dan negara setelah keruntuhan sistem khilafah dan munculnya konsep baru negara-bangsa dan kewarganegaraan yang tercermin sesuai perkembangan zaman sekarang ini. Konsep baru yang ada dan berkembang tidak lepas dari pandangan benar dan salah. Dualistik pemikiran ini berkesinambungan pada pandangan umat muslim itu sendiri yang harus selalu bergerak pada fungsi ketauhidan sosial. Menurutnya, Moeslim (1997) jelas sekali bahwa kecenderungan untuk berpikir melalui pandangan dunia yang dualistik semata, seperti hanya menekankan persoalan “halal-haram”, “dosa-pahala”, serta “hitam-putih”. Sementara kenyataan sosial menunjukkan penderitaan umat, tidak dianggap sebagai sesuatu yang perlu untuk diperhatikan. 

Realitas ini menjadi selaras antara pandangan konsep baru yang terus bergerak dan kecenderungan tauhid sosial yang dimiliki umat muslim menjadi penghubung yang efektif.  Tentunya, penekanan pada solusi agama untuk permasalahan masyarakat suatu negara atau bahkan wilayah terkecil di dalamnya. Hubungan ini sebagai kontrol sosial untuk menjadikan tindakan-tindakan nyata dari kebijakan yang memihak masyarakat seluruhnya hingga kelas paling bawah, serta pengembangan yang bermanfaat pada nilai tepat guna.

Kang Moeslim menuturkan kembali bahwa ajaran agama yang paling penting adalah meletakkan kedudukan nilai dan martabat kemanusiaan di tempat yang luhur. Agama Islam dalam hal ini pemaknaan wahyu sebagai pedoman nilai beragama. Menurutnya, Moeslim (1997) wahyu Allah telah diterjemahkan dengan cara yang tepat, emansipatoris, liberatif dan transformatif. Kerena itu dalam Islam memiliki posisi yang relevan dengan perubahan zaman, dengan pelbagai persoalannya.

Selanjutnya Moeslim (1989), adalah keupayaan dalam membaca firman-firman Allah secara kritis tersebut tidak hanya bersifat deduktif yakni dari kitab suci menuju realitas tetapi juga bersifat dialektis-reflektif dalam rangka membaca, mendiagnosis dan menyikapi pelbagai realitas empiris (pelbagai krisis sosial dan kemanusiaan) melalui perspektif nilai-nilai etika. Sehingga relevansi pembacaan kitab suci agama adalah ketika teologi Islam menjadi kontruksi nilai tauhid pada keberpihakan kepentingan sosial. Merefleksikan, memaknai dan bertindak atas dasar keresahan setiap zaman hingga sekarang ini yang keberpihakannya juga pada kesadaran kontruksi kemanusiaan. 

#itbatla #koma #politik #teologiislamtransformatif  



Referensi :
Moeslim Abdurrahman. Islam Transformatif. 1997
Moeslim Abdurrahman. Wong Cilik dan Kebutuhan Teologi Transformatif. 1989

Penulis : M. Nurul Huda

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama